• put your amazing slogan here!

    Narsisme Politik dan Retaknya Demokrasi


    BANGSA Indonesia masih percaya pada demokrasi sebagai sistem pemerintahan, ketimbang oligarki, tirani, atau otoriter yang cenderung tidak terbuka, sewenang-wenang, atau bahkan menindas. Para pendiri bangsa ini sudah sepakat dengan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi di negeri ini. Ini dikarenakan demokrasi dianggap sebagai jalan terbaik di antara jalan-jalan yang lain. 

    Kendati demikian, sejarah membuktikan bahwa praktik demokrasi di negara kita masih mengandung kelemahan-kelemahan. Di samping menimbulkan biaya politik yang tinggi, misalnya biaya pada saat pemilu dan pemilukada, demokrasi ternyata juga melahirkan elite politik berwajah narsis. 

    Tindak-tanduk orang-orang yang lahir dari rahim partai politik seringkali mencerminkan sifat melebih-lebihkan, menonjolkan, dan memuja diri mereka sendiri. Orang-orang partai tampil di hadapan publik, terutama melalui media massa, bak pahlawan yang bersemangat memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat. 

     Pendangkalan politik
    Akibat sifat narsis ini, berbagai tindakan, keputusan, dan strategi politik pun sangat dibentuk oleh sifat popularitas yang menggiring ke arah “pandangkalan politik”. Tokoh atau kader partai politik menggantungkan hidupnya pada citra permukaan. Hal-hal yang bersifat subtansial (ide, gagasan, perjuangan, pengorbanan, dan sebagainya)  dilibas oleh sesuatu yang bersifat sensasional (iklan politik, gambar, foto, baliho, dan sejenisnya). 

    Sifat narsis akan semakin terlihat manakala kita menyaksikan pemimpin partai politik melirik para artis yang memiliki popularitas kaliber di mata masyarakat untuk dijadikan kader partai atau calon legislatif. Inilah wajah narsis partai politik yang sedang trend di negeri ini. 

    Manifestasi narsisme politik juga bisa diteropong lewat berkoarnya pemimpin-pemimpin partai menyuarakan ide, gagasan, dan pemikiran yang seakan-akan berpihak kepada rakyat. Mereka seolah-olah memperjuangkan secara tulus aspirasi masyarakat. Padahal, kalau diamati secara seksama, ini semua memiliki maksud dan tujuan yang tidak lain adalah menaikkan citra partai dan meraih dukungan rakyat di Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 mendatang, misalnya. Di sinilah ketulusan dan keikhlasan orang-orang partai dalam memperjuangkan rakyat betul-betul diuji. 

    Di sini pulalah kita menyaksikan kekuatan “mantra narsistik” yang digunakan politikus untuk membangun citra baik partai tanpa peduli relasi citra itu dengan realitas sebenarnya. Bahkan, beberapa citra itu tidak saja berbeda, tetapi juga bertolak belakang dengan realitas sesungguhnya. Citra seringkali terputus dari realitas yang dilukiskan. Kesenangan melihat citra diri inilah yang menggiring ke jurang “narsisisme politik” (political narcissism).

    Berkenaan narsisme politik ini, Christopher Lach dalam The Culture of Narcissism (1979), melihat bahwa keberadaan narsisme ini sangat berbahaya. Ini disebabkan narsisme lebih banyak merayakan budaya permukaan dibandingkan budaya kedalaman. Rasionalitas yang dibangun adalah rasionalitas wajah, popularitas semu, dan penampilan sesaat. Narsisme politik mengingkari budaya kedalaman (substansi) politik.  Akibatnya, demokrasi subtansial (kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, dan seterusnya) yang seharusnya diwujudkan oleh partai politik beserta “anak-anaknya”, sulit tercapai.  

    Maka tidak heran, banyak di sudut kota dan pelosok desa terpampang foto dan gambar-gambar calon-calon pejabat negara, baik di tingkat legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Mereka berlomba meraih simpati masyarakat dengan cara membangun politik narsis. Kesadaran masyarakat pun terkadang terperosok ke dalam kesadaran palsu, yaitu distorsi pada tingkat kesadaran karena distorsi realitas. Pada titik inilah, pendidikan politik luhur yang mustinya diterima rakyat, tidak terwujud.

    Sekali lagi, narsisme politik, yang memiliki kecenderungan pemujaan diri secara berlebihan, tidak akan membawa tatanan politik yang luhur. Politik narsis hanya akan menciptakan kader partai berlagak dekat dengan petani, pembela wong cilik, akrab dengan pedagang pasar, karib dengan pemuka agama, penjaga kesatuan bangsa, pemberantas praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan perilaku “seolah-olah” lainnya. Namun, semua itu hanya ilusi, palsu, dan bohong belaka. 

    Di panggung politik, para kader partai mengkonstruksi citra partai  dengan sebaik, secerdas, seintelek, sesempurna, dan seideal mungkin, tanpa menghiraukan pandangan umum terhadap realitas diri partai sebenarnya. Melalui politik pertandaan (politics of signification), berbagai tanda palsu (pseudo sign) tentang tokoh, figur, dan partai diciptakan untuk mengelabui persepsi dan kesadaran publik. Maka tidak heran, di satu sisi kita menyaksikan partai politik yang getol menyuarakan gerakan antikorupsi, misalnya “Katakan Tidak pada Korupsi. Namun, di sisi lain, kita juga melihat sebagian kadernya terlilit korupsi. 

     Miskin prestasi
    Akibat lanjutan dari narsisme politik adalah “keseketikaan politik” yang hanya merayakan citra instan dan efek segera, tetapi tidak menghargai proses politik berkualitas dan bermakna. Aneka citra politik, misalnya jujur, cerdas, bersih, Islamis, nasionalis, atau nasionalis-religius adalah citra yang seharusnya dibangun secara alami melalui akumulasi karya, pemikiran, tindakan, ide, dan prestasi politik. Namun, mentalitas “menerabas” telah mendorong tokoh politik menjadi miskin prestasi dan mengambil jalan pintas  dengan memanipulasi citra instan. 

    Inilah dampak negatif ketika partai politik dan politikus sudah mengedepankan narsisme politik. Kader partai mengeluarkan aneka trik, bujuk rayu, persuasi, dan retorika komunikasi politik yang bertujuan meyakinkan rakyat bahwa citra yang ditampilkan adalah kebenaran. 

    Padahal, citra-citra itu tidak lebih dari wajah penuh make up dan topeng politik yang menutupi wajah asli yang penuh kepalsuan, kebohongan, dan kepura-puraan. Buktinya, banyak kader partai akhir-akhir ini, baik dari partai beraroma keagamaan maupun nasionalis, terlibat aksi perampokan uang rakyat (baca: korupsi). 

    Dalam kondisi seperti ini, rakyat perlu bersikap kritis dan cerdas terhadap segala bentuk perilaku narsisme politik yang saat ini sedang “digandrungi” partai politik beserta aktor-aktornya, terutama 2013 ini, sebagai tahun panas bagi dunia politik. Masyarakat perlu ikut mengkaji, menelaah, dan memperhatikan sepak terjang aktor-aktor politik yang ada di negeri tercinta Indonesia ini.  

    Kita musti pandai membaca percaturan politik dalam negeri, apakah tindakan politik sudah berjalan sesuai moralitas yang tinggi atau belum, apakah elite politik sudah mampu menjadikan politik sebagai alat menyejahterahkan rakyat apa belum, dan sudah seberapa besar kontribusi partai-partai politik dalam menciptakan kemajuan bagi bangsa dan negara ini? 

    Sumber
    *Ahmad Ubaidillah, Mahasiswa pada Program Magister Studi Islam, Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Email: ubaidmad@yahoo.com


    0 komentar:

    Posting Komentar

     

    Blogger news

    About

    saya

    Blogroll