Sufi adalah orang yang mengamalkan pekerjaan tasawuf. Berdasar asal katanya (etimologi), istilah ‘sufi’ punya arti yang beragam. Menurut Ensiklopedia Indonesia terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve (1997), ‘Sufi’ diambil dari kata ‘Suf’, yang artinya ‘kain yang dibuat dari bulu domba yang ditenun kasar’.
Biasa dikenakan oleh orang-orang sufi sebagai lambang kesederhanaan dan kemiskinan, namun berhati dan berbudi pekerti mulia. Berpakaian ‘Suf’ juga bermaksud sebagai reaksi terhadap orang-orang yang hidupnya mewah dengan berpakaian sutra yang indah-indah, terutama yang dilakukan oleh para pembesar kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah
'Sufi’ juga berasal dari kata ‘Saf’. Saf artinya baris dalam shalat berjamaah. Karena saf pertama itu lebih banyak pahalanya dibandingkan dengan saf kedua, ketiga dan seterusnya, dalam hal ini sufi bermakna dimuliakan Tuhan dan diberi banyak pahala. ‘Sufi’ juga berasal dari kata ‘Ahl al-Suffah’. Ahl al-Suffah ialah orang-orang yang mengikuti hijrah dari Mekah ke Madinah, kemudian bertempat tinggal di serambi Masjid Nabawi. Mereka tidak punya apa-apa, lagi miskin. Tidur mereka di atas tikar berbantal Suffah (Pelana Kuda/Unta). Meskipun miskin tetapi berhati mulia, seperti halnya sifat-sifat yang dimiliki orang sufi.
Syeikh KH. Habib Muhammad Luthfi Ali Yahya selaku Ro’is A’am Jami’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An-Nahdliyyah menjelaskan sikap zuhud dengan mengumpamakan seperti ikan di dalam air laut yang asin. Ikan perlu air untuk hidup. Tapi daging ikan laut tidak pernah asin (kecuali sengaja digarami). Begitu pula manusia yang memerlukan dunia untuk hidup. Dunia diciptakan Tuhan untuk manusia. Silahkan manusia bekerja, mencari harta di dunia sebanyak-banyaknya. Tapi manusia yang zuhud tak pernah tersentuh oleh dunia.
Kembali kepada sejarah, sikap zuhud mulai tumbuh sebagai aliran dan masih bersifat individu, di akhir abad kesatu dan awal abad kedua hijriah (abad ke 7 dan 8 Masehi). Hal ini sebagai titik tolak dan dasar dari timbulnya aliran tasawuf. Dikenal sebagai perintis pertama dari al-zuhd ialah adanya beberapa orang dikalangan sahabat Nabi yang merasa tidak senang terhadap sikap hidup mewah dari para pembesar kerajaan berserta kalifah dan keluarganya. Mereka itu mendapatkan kekayaan melimpah ruah setelah Islam memperluas daerahnya ke Mesopotamia, Suriah, Persia, dan Mesir. Kehidupan mewah yang demikian itu jauh dari tuntunan dan ajaran yang dicontohkan Rasul Allah atau Kalifah Abu Bakar, Umar dan para Sahabat Nabi lainnya, yang hidupnya serba sederhana.
Ada diantara sahabat Nabi bernama Abdullah Ibn Umar secara diam-diam menyingkir dari kalangan pejabat-pejabat dari pemerintahan dan hidup zuhud. Akan tetapi Abu Dzar al-Giffari salah seorang sahabat Nabi secara terang-terangan mencela dan memperingatkan cara hidup kemewahan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, Gubernur Negeri Syam. Sikap menentang ini berakibat ia ditangkap dan diasingkan di dusun Ribzah luar kota Madinah dan kemudian menjadi hidup zuhud.
Perkembangan al-zuhd ini selanjutnya, yang berpusat di Kufah terkenal dengan berpaham idealis tradisional, pengikut mazhab Zahiri dalam mengupas hadits. Dalam akidah lebih cenderung kepada jiwa Syiah dan Murjiah. Para zahidnya yang terkemuka antara lain Sufyan al-Tsauri (± 135 H), Rabi’ Ibn Khaitsam (± 67 H), Abu Hasyim (± 150 H), dan Jubir Ibn Hasyim (± 190 H).
Adapun pengamal al-zuhd yang berpusat di Basrah, mereka lebih realis dan kritis dalam cara berfikir, gemar pada logika dalam kupasan ilmu bahasa, realis dalam membuat sajak dan gubahan, kritis dalam mengupas hadits dan dalam aqidah mereka cenderung pada paham Mu’tazilah dan Qodariyah. Pengamal al-zuhd di Basrah lebih ekstrem daripada yang ada di Kufah, sehingga akhirnya nanti akan meningkat menjadi ajaran-ajaran tasawuf. Tokoh-tokoh zahidnya yang terkenal antara lain : Hasan al-Basri (± 110 H), Malik bin Dinar (± 181 H), Fadl al-Rakkashi (± 182 H), dan Rabi’ah al-Adawiyah (± 185 H). Dari perkembangannya di kedua kota ini, aliran al-zuhd meluas ke daerah-daerah lain seperti di Persia.
Di Khurasan terkenal dengan nama Ibrahim Ibn Adham (± 162 H) dan muridnya Syafiq al-Balkhi (± 191 H). Di Madinah terkenal seorang zahid bernama Ja’far ash-Shadiq (± 148 H). Sebutan yang sama dengan al-zuhd pada masa itu ialah ‘abid atau nasik, artinya orang-orang yang senantiasa tekun beribadah. Disebut juga dengan istilah ‘buka-in’, artinya orang yang senantiasa menangisi kalau-kalau tobat, atau amal ibadahnya tidak diterima oleh Tuhan.
Biasa dikenakan oleh orang-orang sufi sebagai lambang kesederhanaan dan kemiskinan, namun berhati dan berbudi pekerti mulia. Berpakaian ‘Suf’ juga bermaksud sebagai reaksi terhadap orang-orang yang hidupnya mewah dengan berpakaian sutra yang indah-indah, terutama yang dilakukan oleh para pembesar kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah
'Sufi’ juga berasal dari kata ‘Saf’. Saf artinya baris dalam shalat berjamaah. Karena saf pertama itu lebih banyak pahalanya dibandingkan dengan saf kedua, ketiga dan seterusnya, dalam hal ini sufi bermakna dimuliakan Tuhan dan diberi banyak pahala. ‘Sufi’ juga berasal dari kata ‘Ahl al-Suffah’. Ahl al-Suffah ialah orang-orang yang mengikuti hijrah dari Mekah ke Madinah, kemudian bertempat tinggal di serambi Masjid Nabawi. Mereka tidak punya apa-apa, lagi miskin. Tidur mereka di atas tikar berbantal Suffah (Pelana Kuda/Unta). Meskipun miskin tetapi berhati mulia, seperti halnya sifat-sifat yang dimiliki orang sufi.
Sufi juga punya arti Suci.
Orang-orang sufi senantiasa berusaha mensucikan dirinya dengan melalui
latihan-latihan kerohanian tertentu. Dalam sejarah, istilah sufi baru
dikenal setelah pertengahan abad kedua hijriah. Sebelum itu orang hanya
kenal dengan perkataan Zuhud.
Zuhud, zuhd atau al-zuhd secara harfiah bermakna
keadaan meninggalkan kehidupan dunia yang bersifat materi dan menekuni
hal-hal yang bersifat rohani. Dalam praktik sehari-hari, makna zuhud
sekarang ini sering disalahtafsirkan sebagai perilaku yang meninggalkan
hal-hal yang bersifat duniawi, misalnya tidak peduli terhadap keluarga,
pekerjaan dan lainnya.Syeikh KH. Habib Muhammad Luthfi Ali Yahya selaku Ro’is A’am Jami’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An-Nahdliyyah menjelaskan sikap zuhud dengan mengumpamakan seperti ikan di dalam air laut yang asin. Ikan perlu air untuk hidup. Tapi daging ikan laut tidak pernah asin (kecuali sengaja digarami). Begitu pula manusia yang memerlukan dunia untuk hidup. Dunia diciptakan Tuhan untuk manusia. Silahkan manusia bekerja, mencari harta di dunia sebanyak-banyaknya. Tapi manusia yang zuhud tak pernah tersentuh oleh dunia.
Kembali kepada sejarah, sikap zuhud mulai tumbuh sebagai aliran dan masih bersifat individu, di akhir abad kesatu dan awal abad kedua hijriah (abad ke 7 dan 8 Masehi). Hal ini sebagai titik tolak dan dasar dari timbulnya aliran tasawuf. Dikenal sebagai perintis pertama dari al-zuhd ialah adanya beberapa orang dikalangan sahabat Nabi yang merasa tidak senang terhadap sikap hidup mewah dari para pembesar kerajaan berserta kalifah dan keluarganya. Mereka itu mendapatkan kekayaan melimpah ruah setelah Islam memperluas daerahnya ke Mesopotamia, Suriah, Persia, dan Mesir. Kehidupan mewah yang demikian itu jauh dari tuntunan dan ajaran yang dicontohkan Rasul Allah atau Kalifah Abu Bakar, Umar dan para Sahabat Nabi lainnya, yang hidupnya serba sederhana.
Ada diantara sahabat Nabi bernama Abdullah Ibn Umar secara diam-diam menyingkir dari kalangan pejabat-pejabat dari pemerintahan dan hidup zuhud. Akan tetapi Abu Dzar al-Giffari salah seorang sahabat Nabi secara terang-terangan mencela dan memperingatkan cara hidup kemewahan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, Gubernur Negeri Syam. Sikap menentang ini berakibat ia ditangkap dan diasingkan di dusun Ribzah luar kota Madinah dan kemudian menjadi hidup zuhud.
Perkembangan al-zuhd ini selanjutnya, yang berpusat di Kufah terkenal dengan berpaham idealis tradisional, pengikut mazhab Zahiri dalam mengupas hadits. Dalam akidah lebih cenderung kepada jiwa Syiah dan Murjiah. Para zahidnya yang terkemuka antara lain Sufyan al-Tsauri (± 135 H), Rabi’ Ibn Khaitsam (± 67 H), Abu Hasyim (± 150 H), dan Jubir Ibn Hasyim (± 190 H).
Adapun pengamal al-zuhd yang berpusat di Basrah, mereka lebih realis dan kritis dalam cara berfikir, gemar pada logika dalam kupasan ilmu bahasa, realis dalam membuat sajak dan gubahan, kritis dalam mengupas hadits dan dalam aqidah mereka cenderung pada paham Mu’tazilah dan Qodariyah. Pengamal al-zuhd di Basrah lebih ekstrem daripada yang ada di Kufah, sehingga akhirnya nanti akan meningkat menjadi ajaran-ajaran tasawuf. Tokoh-tokoh zahidnya yang terkenal antara lain : Hasan al-Basri (± 110 H), Malik bin Dinar (± 181 H), Fadl al-Rakkashi (± 182 H), dan Rabi’ah al-Adawiyah (± 185 H). Dari perkembangannya di kedua kota ini, aliran al-zuhd meluas ke daerah-daerah lain seperti di Persia.
Di Khurasan terkenal dengan nama Ibrahim Ibn Adham (± 162 H) dan muridnya Syafiq al-Balkhi (± 191 H). Di Madinah terkenal seorang zahid bernama Ja’far ash-Shadiq (± 148 H). Sebutan yang sama dengan al-zuhd pada masa itu ialah ‘abid atau nasik, artinya orang-orang yang senantiasa tekun beribadah. Disebut juga dengan istilah ‘buka-in’, artinya orang yang senantiasa menangisi kalau-kalau tobat, atau amal ibadahnya tidak diterima oleh Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar